Minggu, 01 Juli 2012

Menertawakan PT Kereta Api Indonesia (Persero), Menertawakan Diri Sendiri (3-Habis)


Di sadur dari : http://www.indopos.co.id
Jalur Bandara-Kota, Ibarat Pisau Bermata Dua






Ada kejutan besar yang sedang digagas PT KAI. Perusahaan yang corporate color-nya memilih kombinasi orange-biru ini telah mengantongi rencana besar! Yakin, planning itu akan membuat mulut orang Jakarta berbentuk “o”, dan tidak lagi sopan menertawakan fasilitas dan kualitas layanan selama ini. Tunggu saja tanggal mainnya!
Agak somse --sombong sekali—memang. Tetapi, lebih baik terkesan sombong tapi mumpuni, daripada sopan tapi tak bisa berbuat apa-apa. Somse yang faktual, itu lebih serius daripada santun tetapi terlalu berlepotan lips service. Prinsip itulah yang sangat kental melekat di benak Dirut PT KAI jebolan Universitas Airlangga Surabaya ini, Ignatius Jonan, bersama jajaran direksi yang mendampinginya.
Diam-diam, Jonan sudah merencanakan, untuk mengembangkan jumlah kereta listrik ber-AC untuk Jabodetabek secara bertahap. Kapasitas angkutnya dinaikkan dari 500 ribu penumpang per hari, menjadi 1,2 juta penumpang, sampai 4 tahun ke depan. Termasuk investasi jalur kereta api, untuk menyambung penumpang dari Bandara Soekarno Hatta sampai kota Jakarta. ’’Kalau ada kereta eksekutif bagus, cepat, nyaman dari Cengkareng-Kota, tarif Rp 70 ribu tidak mahal,’’ kata Jonan.
Investasi lokomotif, kereta dan gerbong baru untuk peningkatan kapasitas angkutan barang/container di Pulau Jawa  dari 300 kontainer per minggu di 2008, menjadi 2.000 per minggu saat ini, dan akan menjadi 5.000 sampai 2013, dengan bekerjasama dengan Pelindo II dan III. “Bayangkan, jumlah kereta barang kami hanya 19 persen, tetapi menghasilkan pendapatan 41 persen, dan kapasitas itu masih berpotensi untuk dinaikkan,” tuturnya.
Bahkan, PT KAI juga tengah berinvestasi rek R-54 dan wesel, serta lokomotif dan gerbong batubara di Sumatera Selatan, untuk mengangkut batu bara, dari 10 juta ton menjadi 22 juta ton per tahun, mulai 2009 sampai 2013. ’’Kami menjemput rencana PT Bukit Asam (Persero) yang akan mengangkut batubara dari saat ini 12,9 juta ton per tahun, menjadi 22,7 juta ton di tahun 2014. Potensinya ada 35 juta ton per tahun,’’ ungkap Jonan.
Yang paling ditunggu-tunggu adalah pengembangan kereta ke bandara. Pertama, jaringan rel Araskabu-Bandara Kualanamu sepanjang 5 kilometer, yang akan selesai akhir 2012. Kedua, pengembangan rel Bandara Soekarno Hatta via Tangerang, yang akan selesai 2013. ’’Termasuk track baru antara Tanah Tinggi-Bandara Soetta sepanjang 6,5 km, penataan emplasemen Tanah Tinggi dan penataan stasiun Tanah Tinggi dan Batu Ceper,” paparnya.
Bagi Jakarta, penambahan jumlah kereta, loko, gerbong, dan volume angkut itu tentu bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, akan banyak masyarakat yang terangkut dengan moda transportasi publik paling efisien itu. Di sisi lain, kemacetan Jakarta akan semakin parah, karena lebih banyak pintu palang kereta api yang menghambat lalulintas. 
Sebab, sebentar-sebentar ada kereta api. Sebentar-sebentar penutupan jalan. Maka ujung macetnya bisa membuat ibu kota semakin stagnan. Apa solusinya? ’’Kalau saya sebagai orang PT KAI, ya saya sarankan jangan mengendarai mobil pribadi! Tapi gunakan kereta ke mana saja bepergian?” jawab Jonan, yang mantan Managing Director Citigroup 2006-2009 ini. Tetapi, idealnya harus dibangun fly over, atau under pass, agar di saat kereta lewat tidak harus menutup jalan.
Dalam waktu dekat, Jonan akan bertemu Gubernur DKI Fauzi Bowo untuk menyampaikan rencana besarnya itu. Tentu, agar perencanaan PT KAI ini sejalan dengan rencana besar pengembangan Kota Jakarta. Dengan begitu, salah satu keinginan PT KAI untuk mengurai kemacetan Jakarta, menurunkan emisi gas buang, dan penghematan BBM itu bisa tercapai dengan komprehensif.
Bagaimana dengan isu percaloan yang selalu marak di hari-hari menjelang arus mudik? “Ya, itu sulit dihindari. Penyebabnya sebenarnya disparitas harga yang terlalu jauh. Jakarta-Surabaya Rp 33 ribu itu tidak sebanding dengan harga kereta bisnis yang tanpa subsidi,” jelasnya.
“Coba Anda ke loket Garuda Indonesia. Pasti tidak banyak calo, dibandingkan dengan pesawat murah. Karena faktor perbedaan harga itulah, calo-calo bermain. Kalau pencetak KTP harus berdasarkan nama yang tertera di tiket itu bisa berjalan dengan disiplin, itu akan mengurangi calo. Tetapi, apa itu memenuhi rasa sosial? Itu yang terus kami pelajari,’’ ungkap Jonan.
Tapi Anda yakin, PT KAI bisa eksis? Dengan harga tiket ekonomi yang “tak mungkin” naik itu? “Harus optimis dong? Kan, bisa memaksimalkan potensi pendapatan yang lain? Bahkan, kami targetkan tahun 2012 ini, kami bisa menaikkan laba hinggal 50 persen dari 2011, atau menjadi Rp 300 M, setahun,” jelasnya.(dk/habis)

Menertawakan PT Kereta Api Indonesia (Persero), Menertawakan Diri Sendiri (2)

Di sadur dari : http://www.indopos.co.id
Beda Garuda Indonesia dan Kereta Api Indonesia




Garuda Indonesia terbang makin tinggi di angkasa. Kereta Api setia menempel di rel yang tertancap di bumi. Dari posisinya saja sudah memberi isyarat. Ketika Garuda menghadapi persoalan dan membutuhkan suntikan modal, pemerintah cepat mengantisipasi. Bagaimana ketika PSO –public service obligation—ini terjadi di KAI? Yang juga butuh investasi besar untuk perbaikan fasilitas dan membuat kereta lebih cepat?

Ya, secepat laju kereta api itu sendiri. Tut..tut..tut. Bisa ngebut konstan dengan 120 km per jam saja sudah jempol dua. Beda dengan jet Boeing 747 ER, yang sanggup membelah awan dengan kecepatan 500-800 km per jam di atas ketinggian 30.000 kaki.  Celakanya, petinggi-petinggi negeri ini lebih sering naik Garuda, dibandingkan KA ekonomi? Ya otomatis, perhatian, penjiwaan, service, dan quick respons-nya jauh lebih sensitif ke Garuda.
Terlalu lama PT KAI tidak tersentuh manajemen profesional yang mengandalkan aspek services. Cara berpikir dan bekerja pegawainya lebih mirip pegawai negeri, yang berangkat jam 8 pulang jam 16.00 WIB. Tidak berusaha mencari terobosan, tidak berinovasi, apalagi mencari model business development sebagaimana perusahaan swasta. “Lama saya mengubah mind set seperti ini, hampir tiga tahun,” aku Ignatius Jonan, Dirut PT KAI yang menggantikan Ronny Wahyudi tahun 2009 itu.
Selama 2006-2007-2008, sebelum Jonan menjadi orang nomor satu, PT KAI menderita kerugian 109,786 M. Begitu dilantik, 2009-2010-2011, pria yang mantan Managing Director Citigroup 2006-2009 ini langsung menyulap perusahaan kereta api ini membukukan laba bersih setelah pajak, 572,380 M. Tahun 2011 saja, berlaba 201,244 M. “Semua curiga, saya main sulap! Tapi saya bisa buktikan, bahwa ini semua adalah kinerja perusahaan yang riil,” ungkap mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia 2001-2006, salah satu BUMN itu.
Ketika performance perusahaan membaik, services meningkat, kenyamanan meningkat, kreativitas naik, aksi korporasi makin inovatif, maka PT KAI pun terus percaya diri. Volume penumpang yang terangkut sepanjang 2011 memang tidak naik, tetapi kualitas layanannya naik signifikan. Lagi-lagi, jangan dibandingkan dengan Garuda Indonesia. “Kami memang concern di pelayanan!,” ungkap Jonan didampingi jajaran direksinya, yang mengakui masih jauh dari kata sempurna.
Ada Wadirut, Darmawan Daud, Direktur Keuangan Kurniadi Atmosasmito, Direktur SDM Joko Margono, Direktur Teknik Judarso, Direktur Keselamatan Rono Pradipto, Direktur Komersial Sulistjo Wimbo Hardjito dan Humas Sugeng Priyono. “PSO yang diberikan melalui kontrak jauh lebih kecil dari realisasi kebutuhan. Inilah tantangan dalam menaikkan kualitas layanan,” akunya.
Penanda yang kontrak juga terlambat, sehingga pembayaran PSO terlambat. Biasanya baru menjelang Idul Fitri. Pembayaran PSI 2011 sendiri per penumpang rata-rata untuk jarak jauh-dekat, sebesar Rp 5.916,-, sudah lebih baik 30 persen dari tahun sebelumnya. PT KAI juga sudah memberikan subsidi silang kepada kereta kelas ekonomi dari pendapatan kereta angkutan barang sekitar Rp 400 M tahun 2011. Namun, itupun tidak cukup untuk meningkatkan kualitas layanan dan sarana kereta kelas ekonomi.
”Akibat peningkatan upaya safety dan security, naik Rp 30 M. Peningkatan kebersihan dan kenyamanan KA dan stasiun naik Rp 10 M. Kenaikan gaji pokok plus tati dan insentif operasional pegawai rata-rata 10 persen tiap tahun, total Rp 100 M. Makanya, sekarang petugas penjaga palang pintu saja gajinya 3-4 juta rupiah per bulan,” ungkapnya.
Inovasi dan upaya-upaya perbaikan PT KAI memang tidak terlalu “seksi” bagi publik, termasuk media massa. Tidak banyak yang tahu, langkah-langkah perubahan yang sudah dilakukan. Perubahan logo, pengembangan bisnis, stasiun online, mobile ticketing online, rail agent, call center 121, BNI Rail Card –BNI Prepaid dan mesin Electronic Data Capture--. “Nanti kami bisa menerima pembarayan dengan potong pulsa,” kata Jonan.
Soal penurunan angka kecelakaan sejak 2007, juga tidak banyak tercover media. Tidak banyak yang tahu, dari soal kereta anjlok, kereta kena banjir, longsor, sampai tabrakan KA v KA. Penurunan jumlah korban juga terus menurun, dari luka ringan, luka berat, sampai meninggal dunia.
Apa saja yang sudah dilakukan? “Toilet gratis di semua stasiun besar, call center untuk reservasi tiket eksekutif dan bisnis, penggantian toilet kereta menjadi ramah lingkungan, pembelian tiket dengan drive thru di Stasiun Gambir, penerapan tiket terpadu KAI, Pelni, Damri, dan ASDP, penerapan manager on duty di KA eksekutif, komersialisasi stasiun besar menjadi tempat pertemuan antar calon pengguna kereta, penataan parker yang aman di stasiun besar, penghijauan di stasiun dan jalan rel di kota besar, dan kebersihan toilet,” paparnya.
Selain itu, yang sedang dilakukan, penataan bangunan tua stasiun dan gedung milik PT KAI sebagai warisan cagar budaya. Pengamanan rel, stasiun dan kereta dengan bekerja sama dengan TNI dan Polri. Prasarana juga diperbaiki, seperti pemasarangan early warning system, automatic train stop, peremajaan radio train dispatching system, dan lainnya.
Tapi lagi-lagi, kalau prestasi baik, itu bukan berita. Itu lebih mirip kabar burung, yang cepat datang cepat terbang. Tapi kalau ada kecelakaan, apalagi ada korban jiwa, perlakuan terhadap atapers bandel -penguna jasa kereta api, di atas atap-, problem sosial, calo menjelang Idul Fitri, itu baru menjadi berita heboh. “Saya bersyukur mudik 2011 lalu lancar, tidak ada kecelakaan. Anda bisa bayangkan, PT KAI ini satu-satunya perusahaan yang karyawannya tidak pernah bisa ikut ber-Lebaran selama-lamanya,” akunya.
“Tapi oke, kami masih menyimpan banyak kejutan, banyak rencana besar untuk mengurangi kemacetan, mengangkut lebih banyak penumpang, menurunkan emisi gas buang dan penghematan BBM,” ungkapnya. Apa itu rencana besarnya? Ikuti sambungannya besok. (bersambung/dk)

Menertawakan PT Kereta Api Indonesia (Persero), Menertawakan Diri Sendiri (1)


Di sadur dari : http://www.indopos.co.id
Candaan Khas Madura, Murah Kok Mau Nyaman


Ketika PT KAI bermetamorfosis dari Perjan ke Perseroan, idealnya wajahnya juga berubah total. Orientasinya profit. Nyawanya, pelayanan (service), terobosan (inovasi) dan keamanan (safety). Tarif, menjadi hak dan kewenangan manajemen 100 persen untuk mengatur, agar terjadi kesesuaian antara cost dan benefit.
Ketika tarif tidak diintervensi oleh kekuatan manapun, maka publik berhak ngomel-ngomel, jika layanannya memble. Bahkan, pengguna jasa kereta api dipersilakan mengumpat dan menyebut ribuan nama-nama binatang di Taman Safari, ketika kereta api terlambat, stasiun kotor, toilet jorok, ruang tunggu kotor, kursi tidak terurus, kerusakan mesin, perbaikan lokomotif, perawatan jalur, pergantian onderdil yang lama, instalasi listrik, dan sebagainya.
Bahkan, mereka bisa membuat petisi, “Terlambat 15 menit, uang kembali! Ukurannya adalah pelayanan. KA akan menjadi angkutan yang paling ekonomis, merakyat, masal, aman, bersih dan on time. Seperti kota-kota besar di negara-negara maju, KA selalu menjadi pilihan moda transportasi paling favourit. Kita yang agak terlambat, salah satunya karena PT KAI ini seperti dilepas kepalanya, ditahan buntutnya. Satu kaki menginjak pedal gas, tangan kiri menarik hand rem, ya putaran roda belakang kencang, tetapi tidak bergerak maju. Hanya jalan di tempat saja.
Logika awam berkata, KA adalah solusi kemacetan –terutama di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. KA juga solusi untuk menurunkan emisi gas buang dan polusi carbon monoxide dari motor dan mobil pribadi. KA tentu juga faktor penghemat BBM yang sedang digalakkan Presiden SBY. Karena mengembangkan moda transportasi dengan gerbong di atas rel ini, ibarat “Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.”
Bisa dibayangkan, selama tahun 2011 saja, volume penumpang sudah 190 juta manusia. Satu bulannya, rata-rata mengangkut 15,83 juta orang. Per hari, rata-rata 527,78 ribu orang, atau enam kali kapasitas stadion Gelora Bung Karno, Senayan. “Jumlah perjalanan KA per hari untuk angkutan penumpang ada 517, atau 47 persen, sedang pendapatan dari sektor PSO atau public service obligation, atau angkutan orang ini hanya 15 persen saja,” jelas Ignasius Jonan, Dirut PT KAI di Kantor Gambir, kemarin.
Sedangkan volume barang, ada 20 juta ton per tahun, yang diangkut oleh kereta api. Itu diangkut dengan 208 kereta, atau 19 persen saja, dan menghasilkan 41 persen pendapatan. Sisanya, Non PSO -angkutan kereta eksekutif-, yang menggunakan 34 persen atau 372 armada kereta,  dan menghasilkan 44 persen income. “Kalau dibandingkan PSO dan non PSO, komposisinya 65 persen PSO dan 35 persen non PSO,” ujar arek Suroboyo, yang didampingi seluruh jajaran direksinya itu.
Kalau dari sisi komposisi PSO dan Non PSO, wajah PT KAI sudah sangat pro rakyat. Karena yang menggunakan jasa angkutan umum, 65 persen adalah rakyat kecil. Hanya saja, tarif “rakyat” PSO itu sudah jauh dari kelayakan sebuah bisnis yang normal. Terlalu kecil, dan tidak pernah naik sejak tahun 2002, atau 10 tahun harga konstan. Hukum ekonomi, seperti inflasi, penyusutan, kenaikan suku cadang, kenaikan biaya service, dan sebangsanya, sepertinya tidak boleh berlaku di PT KAI.
Dampaknya, sarana KA kelas ekonomi mulai usang. Anggaran perawatan prasarana “favorit rakyat” itu tidak cukup. Demand (permintaan, red) pengguna jasa KA ekonomi terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara fasilitas dan kapasitas produksinya stagnan. Tidak imbang. Otomatis, layanan ke penumpang menjadi minimalis. Dan, diperlukan Dana PSO dari APBN yang makin besar.
Misalnya, pintu sudah reot, tidak bisa menutup sempurna. Kaca pintu K-3 itu juga pecah. Tempat duduk tidak layak, jok terkelupas, kotor. Rel, wesel, sinyal juga mulai usang. Rel terlalu kecil di persilangan jalur KA, cacat retak di wesel dan sambungan rel. “Juga vandalism, pencurian peralatan yang sering terjadi. Sampai-sampai kabel power listrik, kabel track circuit, kabel udara, juga dicuri?” keluh alumni Unair yang ceplas ceplos itu.
“Coba bayangkan, KA Jakarta-Tangerang, jarak 26 km, tarifnya hanya Rp 1.000,-, Bogor-Angke 34 km, Jakarta Depok 33 km, hanya Rp 1.500,-. Jakarta-Bogor 55 km, hanya Rp 2.000,-  Surabaya-Kertosono 87 km, tarifnya Rp 2.000,-? Tarif kereta ekonomi kita terlalu murah, tetapi tidak mudah untuk menaikkan secara proporsional,” ungkapnya.
Seribu perak itu, satu batang rokok saja masih kurang. Parkir di mall satu jam saja sudah tidak cukup. Lebih mahal naik ojek dari Senayan ke Gambir. Lebih mahal dari harga gorengan tahu isi di tepi jalan. Tapi, dengan alasan mengangkut 126.866.050 rakyat berekonomi pas-pasan, maka tarif PSO itu bukan lagi persoalan profesional, korporasi atau urusan manajemen keuangan saja. Tarif KA PSO itu sudah menjadi persoalan politik, yang mudah “galau” saat diutak-atik.
Mirip seperti guyonan ala Madura, ketika seorang ibu naik becak. Saat abang becak itu mengayuh kencang, si ibu protes, “Hati-hati pak, jangan kencang-kencang!” Dan, si abang becak pun menjawab: “Seribu perak (bayarnya murah, red), kok minta selamat!” Mungkin –kalau mau jujur dan mau bicara--- dalam hati pengelola KAI itu juga seperti candaan si abang becak itu. “Bayar murah, kok mau nyaman!” (bersambung/dk)